Melihat Dunia Anak-Anak dari Film-Film Iran
Mungkin orang tidak asing dengan Negara Iran. Entah dikenal dengan sejarah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini, entah dikenal sebagai tempat peradaban Persia Kuno, atau dikenal karena konflik dengan Amerika Serikat yang sempat menghebohkan beberapa waktu yang lalu karena pembunuhan komandan tinggi militer Iran, Qasem Soleimani. Di luar dari hal tersebut, saya kenal Iran juga sebagai salah satu negara yang mempunyai film-film terbaik dalam perfilman Asia, bahkan di perfilman global. Sutradara-sutradara seperti Majid Majidi, Abbas Kiarostami, sampai Asghar Farhadi merupakan sutradara jempolan di kancah internasional.
Dari semua film-film Iran yang sudah saya tonton, film soal anak-anak begitu menarik hati saya. Penggambaran di dalam film-film Iran yang begitu natural dan mendalam, ditambah pemeran utama anak-anak yang lucu dan polos, penonton akan ditunjukkan bagaimana anak-anak melihat realitas di lingkungannya.
Tulisan ini dimulai dari Film Children of Heaven (1997) karya Majid Majidi. Saya bahas film ini di awal tentu saja ada alasannya: film ini adalah film Iran pertama yang saya tonton. Bagi yang seumuran saya, mungkin tidak asing dengan film ini karena pernah ditayangkan di televisi di tahun 2000-an. Kendati dulu tidak begitu paham, entah mengapa saya merasa film ini begitu terpatri dalam memori. Sekitar tahun 2018, saya pun memutuskan untuk menonton ulang.
Ali, anak pertama dari keluarga yang hidupnya pas-pas-an, harus menghadapi kenyataan bahwa sepatu adiknya, Zahra, hilang setelah direparasi. Ia tidak mau memberitahu orang tuanya karena khawatir akan dimarahi (mungkin juga karena tidak ada uang). Solusinya, ia harus bergantian pakai sepatu yang sama dengan adiknya untuk ke sekolah. Sekolah pagi dipakai oleh Zahra, sekolah siang dipakai oleh Ali.
Selain soal ganti-gantian pakai sepatu, film ini melihatkan bagaimana sebuah upaya yang diperjuangkan terkadang tidak berakhir untung. Seperti halnya ketika Ali malah nangis karena dapat juara pertama lomba lari, padahal ia ingin jadi juara kedua. Di film ini ada pula gambaran yang menunjukkan kemujuran dan kesialan bisa datang di saat yang berdekatan. Hal ini terlihat ketika Ali dan ayahnya mengalami kecelakan saat pulang ke rumah naik sepeda. Padahal baru saja mereka senang dapat upah jadi tukang taman. Dari sini, film ini begitu membuka mata saya bahwa realita ini benar-benar ada dalam kehidupan.
Selain itu, ada karya Majid Majidi lain yang saya rekomendasikan : The Color of Paradise (1999). Film ini menceritakan bagaimana seorang Mohammad, seorang anak tunanetra, berjumpa dengan keluarganya di desa ketika libur sekolah tiba. Dari film ini dilihatkan bagaimana orang disabilitas merasakan keberadaan di dalam keluarganya, lingkungannya, dan uneg-uneg di dalam dirinya.
Masih di tahun 1990-an, film The White Balloon (1995) karya Jafar Panahi ini wajib disebut dalam deretan film-film Iran terbaik (versi saya). Film ini mengisahkan seorang anak perempuan bernama Razieh yang merengek ingin beli ikan mas untuk hiasan tahun baru. Satu hal yang bisa ditanyakan dari film ini: di mana unsur balon putihnya, seperti judulnya? Jawabannya ada di perjalanan Razieh saat beli ikan mas.
Film yang menceritakan kejadian dalam satu hari ini memberi gambaran bahwa begitu banyak kejadian yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tanpa kita sadari. Kurang dari 24 jam saja, Razieh mengalami berbagai hal yang di luar dugaannya saat keluar dari rumah. Film ini melihat bagaimana anak-anak menghadapi serangkaian kegiatan orang-orang dewasa sebuah perkotaan Iran. Selain itu saya juga paham bagaimana didikan orang tua kepada anaknya saat keluar rumah pun begitu terpatri dalam Razieh dan kakaknya, misalnya tidak boleh berbicara dengan orang asing. Kendati demikian, ada saja rasa penasaran dalam diri Razieh sebagai anak-anak yang mengalihkan dirinya dari hal-hal penting yang harus dilakukan.
Ketika menonton film ini, rasanya melihat kelakukan Razieh ini sungguh benar-benar anak kecil di kehidupan sehari hari; begitu natural digambarkan dalam film ini. Bahkan tingkah naifnya Razieh yang sebenarnya menyebalkan bagi orang dewasa, justu malah menggemaskan bagi saya.
Pindah ke tahun 1980-an, ada satu film yang bikin saya akhirnya buat tulisan ini, yaitu Where Is the Friend’s House? (1987) karya Abbas Kiarostami.
Apa yang terjadi jika teman sebangkumu tidak bisa kerjakan PR gara-gara buku tulisnya ada di kamu? Itulah yang dipikirkan oleh Ahmad, seorang anak SD yang tidak sengaja membawa buku teman sebangkunya, Muhammad Reza. Tidak mau temannya dimarahi oleh gurunya esok hari, Ahmad pun melakukan perjalanan dari rumahnya menuju rumah temannya di desa lain.
Narasi yang sederhana ini rupanya digambarkan begitu mendalam di dalam film ini. Sama dengan The White Balloon, film ini juga menggambarkan kejadian dalam waktu yang cukup singkat, yaitu dua hari. Film ini menggambarkan bagaimana kehidupan di pedesaan di Iran. Di samping belajar dan bermain, anak-anak pun berperan dalam aktivitas rumah tangga atau membantu orang tua di ladang atau di peternakan. Ahmad pun demikian. Pada hari itu ia harus mengambil roti untuk persediaan di rumah. Tetapi kepentingan untuk ke rumah Muhammad Reza harus dipenuhi. Ia menghadapi dua hal resiko yang dipilih: Muhammad Reza dimarahi guru besoknya karena buku tulis atau ia dimarahi ayahnya karena tidak ada persediaan roti di rumah.
Film ini merupakan film awal dari Koker Trilogy. Lanjutannya yaitu And Life Goes On (atau dikenal juga Life, and Nothing More…) tahun 1992, dan Through the Olive Trees tahun 1994. Bagi saya, Koker Trilogy ini bukan film bersambung, justru mengisahkan kaitannya antara satu film dengan film ini. Malah saya bisa katakan trilogi ini adalah cerita “film dalam film”. Bagi saya, Abbas Kiarostami begitu ciamik mengisahkan sudut pandang yang berbeda dalam trilogi ini.
Ada juga film The Runner (1984) karya Amir Naderi. Film ini hadir beberapa tahun sesudah Revolusi Iran. Mungkin ini satu-satunya film yang bikin saya repot-repot edit subtitle sendiri karena tidak sinkron dengan narasi filmnya.
Amiro, seorang anak yatim piatu yang bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya di daerah pesisir Iran. Hidup di bangkai kapal di pantai, berpanas-panasan mengumpulkan botol bekas, bergaul dengan tukang loak, menawari jasa semir sepatu, hingga jualan air es pun merupakan hal yang perlu ia jalani. Di dalam film ini, beberapa kali Amiro harus menghadapi kehidupan pesisir yang keras. Amiro harus berantem dengan kawannya karena berebut botol bekas. Amiro pun harus berlari mengejar orang yang tidak mau bayar air minumnya. Bahkan ia pun harus ngotot-ngototan dengan orang dewasa soal es balok. Tetapi Amiro tidak kenal dengan mengasihani diri terhadap nasibnya. Mungkin memang itulah kehidupannya yang harus dijalani.
Menariknya, di samping bekerja, ia suka membeli majalah untuk melihat gambar-gambar, terutama gambar pesawat. Ia pun menyukai pesawat. Dari sinilah akhirnya ia pun memutuskan bersekolah. Dari kehidupannya, ia pun berjuang keras untuk menghapal abjad Arab-Persia agar bisa mengikuti pelajaran di sekolah.
Sejujurnya, ini bukan film motivasi yang gamblang. Tapi gambaran yang begitu realistis yang terasa di dalam film ini membuat saya berpikir, selama masih ada harapan di dalam diri, kita bisa melalui kehidupan ini.
Begitulah ulasan mengenai kisah anak-anak di dalam film-film Iran. Bagi saya, film-film yang saya sebut merupakan gambaran awal bagaimana sineas-sineas Iran bekerja: realistis dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Masih banyak film-film Iran yang lain yang patut diapresiasi, dan saya pun masih ingin mengeksplorasinya lebih jauh.